Sunday, February 1, 2015

7:39:00 PM
South Kedungwuluh, Sabtu 24 Januari 2015, tidak seperti biasanya pagi itu aku berangkat ke tempat kerja hanya dengan menaiki sepada. Akupun harus berangkat lebih pagi. Sepeda motor yang biasa ku naiki hanya kubersihkan saja lalu kupanaskan sebentar mesinnya dan kumasukkan kembali ke garasi. Tepat pukul 06.30 bagian barat waktu Indonesia gowes pun dimulai.

Gowesan demi gowesan yang awalnya ringan lama kelamaan terasa berat. Baru sepertiga perjalanan nafas sudah ngos-ngosan, tak khayal keringatpun turut membasahi sekujur tubuh. Akupun mencoba memperlambat gowesan, membuyarkan rasa cape sembari mencoba menikmati sejuknya udara pagi. Jarak semakin jauh dari rumah, sampailah di jalan besar, dimana lalu lalang kendaraan bermotor, mobil bahkan bus dan truk-truk besar membuat kesegaran udara pagi pudar.

Aku seperti anak kecil, ibarat mimpi yang jadi nyata, keinginan yang sudah agak lama untuk bisa bersepeda kini kurasakan benar adanya. Ya.. aku baru saja membeli sepeda ini, sepeda yang sudah lama kuidam-idamkan, sebuah sepeda gunung yang sporty dengan segenap kelengkapan seperti Automatic Shifter Derailleur dan shock breaker depan yang nyaman menjadikan keinginan bersepedaku makin semangat.

Aneh ya..? dikala yang lain mimpi ingin punya motor, mobil, rumah dan segala hal yang bernilai tinggi, ko aku hanya ingin sepeda, yah… barangkali ini mimpiku untuk saat ini, tentunya masih ada mimpi-mimpi besar yang harus kuraih yang masih tersembunyi dalam kerangka berfikirku. Biarlah semua berproses dan mengalir dengan santunnya, begitu seh..pikirku.

Bukan juga aku hendak pamer dengan sepeda baruku ini, ketika aku masih bekerja di Jakarta sering sekali aku melihat beberapa/ sekelompok orang pulang pergi naik sepeda menuju ke tempat kerjanya. Mereka naik sepeda bukan karena tak punya kendaraan sendiri (motor atau mobil) bukan pula karena tak punya ongkos untuk naik angkutan umum, melainkan mereka ingin melakukan upaya kecil dalam mengurangi polusi dan berramah tamah dengan lingkungan. Dengan menggowes berharap keluar keringat sehingga tubuh menjadi sehat dan kuat, bahkan tidak itu saja kemacetan yang parah di ibu kota cukup ampuh terurai dengan bersepeda seperti ini.

Sedang asik-asiknya menikmati gowesan dami gowesan kira-kira tinggal sepertiga akhir untuk sampai ke tempat tujuan, roda depan sepedaku terasa janggal, akupun berhenti dan memeriksanya. Ternyata roda depanku agak kempes, akupun dengan jeli mencari tahu penyebabnya, kuputar roda perlahan, ku amati, dan benar juga dugaanku, ternyata ada kawat kecil yang menancap disana. Untuk menghindari bocor lebih banyak akupun mencabut kawat tersebut. Sontak, seketika itu roda pun kempes kehabisan anginnya.

Kulayangkan pandangku ke beberapa sudut dari tempatku berdiri, berharap ada penambal yang sudah buka pagi itu, namun tak ada. Lantas, aku teringat bahwa 100 meter sebelum tempat aku bekerja ada sebuah bengkel kecil yang memang spesialisasinya adalah menambal ban. Akupun terpaksa harus melangkahkan kaki dengan menuntun sepedaku untuk sampai kesana. Ya.. kurang lebih 200 meter aku harus menempuhnya.
Dalam jalanku aku berfikir dimana bersepeda saat ini tidak seperti saat dulu aku masih sekolah dibangku sekolah dasar dan menengah pertama, bersepeda saat ini terasa melelahkan atau mungkin ini akibat dari kebiasaan berkendara motor, yang mana kita tinggal menarik tuas gas motorpun berjalan tanpa harus bersusah payah menggowes bahkan lebih cepat jalannya. Sempat terfikir juga betapa beratnya para pedagang yang saat ini masih menggunakan sepeda sebagai sarana dalam berdagangnya, terlebih mereka hanya menggunakan sepeda onthel jaman dulu yang belum secanggih sepeda-sepeda keluaran baru seperti sekarang ini. Mataku pun terasa berkaca-kaca, sedih, jengkel pada diri sendiri, betapa tidak bersyukurnya aku dengan apa yang sudah aku dapatkan saat ini.

Memang seh... masih banyak juga yang nasibnya jauh lebih baik dariku saat ini, jauh lebih berlimpah, jauh lebih berada, namun bersepedaku kali ini lagi-lagi menyadarkanku betapa masih ada yang berada di bawahku, seketika itupun mulutku menyahutinya dengan istighfar.

Sebelumnya juga aku sempat merasa kesal dengan roda sepedaku yang bocor itu, jengkel, ada-ada saja masalah yang datang, namun lagi-lagi aku tersadar dan kembali beristighfar, betapa bodohnya aku, padahal disana tersimpan hikmah dan pelajaran yang sangat berharga, dimana aku sedang ditegur yang salah satu manfaatnya aku jadi bisa beristirahat sejenak, karena bila roda ini tidak bocor pasti aku takkan berhenti menggowes, aku ditegur untuk adil terhadap tubuhku.

Manfaat berikutnya aku diberi amanat melalui tanganku untuk menyampaikan ni’mat-Nya kepada sang penambal ban. Begitulah kiranya ilmu yang kudapat saat termenung sambil menunggu roda sepedaku yang sedang ditambal. Tak berapa lama akhirnya selesai menambalnya, akupun berikan upahnya sembari berterima kasih atas bantuannya, dan ku gowes kembali sepedaku yang sudah tidak jauh lagi untuk sampai ke tempat kerjaku. Terima kasih ya Allah atas segala ni’mat Mu, terima kasih untuk segala ilmu yang Engkau ajarkan padaku hari ini.

0 komentar:

Post a Comment