Tuesday, May 3, 2016

10:39:00 AM
Tak seorangpun yang ingin dirinya tidak berprestasi, dan sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap orangtua memiliki impian terhadap anaknya untuk berprestasi. Namun apa sebenarnya ukuran berprestasi? Adalah menjadi fenomena nyata dan sudah menjadi lazim bahwa menjadi juara dan mendapatkan piala sebagai kebanggaan dari sebuah kompetisi menjadi cara yang mudah diukur untuk ukuran berprestasi.   Apakah benar demikian? Yuk..baca terus artikel ini...
Keyakinan terhadap kompetisi dalam dunia pendidikan di tingkat global terbagi dua. Negara yang percaya pada kompetisi vs negara yang percaya kolaborasi.

Negara yang meyakini kompetisi terlihat dari banyaknya kegiatan lomba dan olimpiade sains yang bisa diikuti oleh anak-anaknya. Jumlah medali dari olimpiade sains menjadi ukuran prestasi suatu negara. Tak heran bila mereka  mengirim sebanyak mungkin anak untuk mengikuti olimpiade sains. Semakin banyak anak yang ikut semakin besar peluang suatu negara mendapat medali.

Sebaliknya dengan negara yang percaya kolaborasi. Mereka justru mengabaikan perlombaan dan olimpiade sains. Mereka lebih banyak menstimulasi anak-anaknya dengan aktivitas yang menuntut kemampuan berkolaborasi. Bila ada persaingan jumlah medali olimpiade sains, mereka pasti kalah telak.

Finlandia adalah negara yang sistem pendidikannya diakui sebagai salah satu terbaik di dunia termasuk kelompok negara yang meyakini kolaborasi. Bila ada lomba jumlah medali olimpiade sains antara Indonesia dan Finlandia, maka negara kita pemenangnya. Tapi mengapa sistem pendidikan Indonesia terpuruk dan sistem pendidikan Finlandia diakui secara global?

Ya karena logika kompetisi dalam pendidikan adalah logika yang menyesatkan. Anak berprestasi tidak diukur dari jumlah juara dan piala. Sistem pendidikan berprestasi tidak diukur dari jumlah anak yang mendapat medali olimpiade sains.

Mengapa logika kompetisi dalam pendidikan itu menyesatkan? Mari kita simak pendapat ahli pendidikan global, Alfie Kohn di tulisannya berjudul The Case Against Competition. Setelah melakukan kajian terhadap riset di bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, biologi dan bidang lainnya, beliau menyimpulkan bahwa kompetisi pada dasarnya buruk. Kompetisi yang sehat dalam pendidikan adalah istilah yang rancu dan kontrakdiktif.

Kompetisi pada harga diri anak ibarat gula pada gigi. Seperti semakin banyak gula maka semakin rusak gigi, begitu pula dengan kompetisi, semakin banyak diikuti semakin merusak harga diri anak. Kompetisi membuat anak melakukan evaluasi terhadap kemampuan dirinya berdasarkan sumber eksternal, anak lain atau peserta kompetisi yang lain. Semakin banyak lawan yang dikalahkan, semakin besar harga diri anak. Menjadi baik tidak cukup, bila tidak mengalahkan semua lawan.

Anak-anak sukses ketika mengatasi kompetisi, bukan karena kompetisi. Banyak orang meyakini bahwa kita melakukan yang terbaik ketika berada dalam sebuah kompetisi. Tanpa kompetisi, kita menjadi orang yang malas, sedang-sedang saja, atau asal berusaha. Itu adalah pandangan palsu karena kita terjebak melakukan penilaian diri hanya dari sumber eksternal.

David Johnson, seorang profesor psikologi sosial di Universitas Minnesota mengkaji semua riset dengan topik kompetisi yang dilakukan sejak 1924 hingga 1980. Enam puluh lima studi membuktikan bahwa anak-anak belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kooperatif dibandingkan yang kompetitif, delapan studi membuktikan sebaliknya dan 36 studi menemukan tidak ada perbedaan antara keduanya. Masih percaya kompetisi membuat anak semangat belajar?

Kompetisi adalah sumber permusuhan. Tidak semua anak akan menang dalam sebuah kompetisi. Bila ada anak yang menang, maka anak yang lain pasti kalah. Seorang peserta kompetisi dibiasakan memandang peserta lain sebagai penghalang dari kemenangannya.

Mereka yang berada dalam lingkungan kompetisi akan sulit memahami sudut pandang orang lain. Riset membuktikan bahwa anak yang kompetitif cenderung kurang berempati pada anak yang lain. Semua urusan dilihat dari sudut pandang kepentingannya. Bila ada yang menghalanginya, maka anak tersebut harus dimusuhi.

Bersenang-senang tidak berarti mengubah lapangan bermain menjadi arena kompetisi. Kita seringkali menganggap kompetisi adalah satu-satunya sumber kesenangan buat anak. Hampir semua kegiatan anak-anak bersifat kompetisi bahkan kegiatan yang sifatnya untuk bersenang-senang sekalipun. Semuanya dilombakan.

Sebagai sebuah gambaran perubahan dari kompetisi menjadi kolaborasi,  seorang anak bernama Damai, di tempat les piano yang lama, Damai pasti diikutkan lomba piano minimal pada akhir semester. Di tempat les piano yang baru, Damai mendapat proyek untuk terlibat dalam pentas piano. Di tempat les terbarunyalah  Damai merasakan kesenangan yang jauh lebih besar.

Dalam pementasan piano, Damai bergabung dalam kelompok yang anggotanya ada anak berkebutuhan khusus. Ketika kompetisi, anak berkebutuhan khusus seringkali dipandang merepotkan dan mengganggu usaha kelompok. Tapi dalam pentas piano, siapapun bekerja sama, saling membantu, agar bisa menampilkan permainan terbaik. Baca lengkapnya di beberapa tulisan berikut ini, Persiapan Movie Land, Konser Piano Movie LandWe’re Proud to Be Part of This Music School, dan Belajar Inklusif.

Ingin contoh yang lebih nyata bahwa berprestasi bukanlah buah dari kompetisi? Simak kesaksian Joey Alexander yang dikutip dari tulisan ini.

“But i just want to play and winning isn’t my goal. I came to the Grammys to play. Didn’t expect to win. It’s all about the music. The opportunity to play for both shows was a huge blessing” (“Tetapi saya hanya ingin bermain dan menang bukan tujuan saya. Saya datang ke Grammy untuk bermain. Tidak berharap untuk menang. Ini semua tentang musik. Kesempatan untuk bermain untuk kedua pertunjukan adalah berkat besar”), Joey Alexander.

Ingin contoh lain lagi? Silahkan sebutkan siapa tokoh yang anda nilai berhasil, dan periksa kompetisi yang dimenangkannya. Steve Jobs, Bill Gates,  Larry Page dan Sergey Brin, Mark Zuckerberg, atau siapapun, sebutkan siapa saja. Berapa banyak dari mereka yang sukses karena memenangkan perlombaan?

Ukuran berprestasi bukanlah jumlah juara, piala atau medali. Menjadi juara, dapat piala atau medali tidak memberikan banyak informasi mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk mengembangkan diri. Dalam sebuah  buku “Bakat Bukan Takdir” pada bagian akhir, ukuran berprestasi adalah karya yang dihasilkan anak dan manfaat dari karya tersebut bagi orang lain. Portofolio karya bakat anak berguna untuk mengenalkan diri pada masyarakat sekaligus sebagai bagian dari obrolan refleksi proses dan hasil belajar anak. Sayangnya, refleksi atas portofolio bakat anak hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk tampil, karena kebanyakan kegiatan anak sifatnya lomba.

Kadar kompetisi pada kegiatan anak sudah jauh melampui ambang batas. Bahkan kegiatan serupa pada orang dewasa bukan suatu lomba akan berubah menjadi lomba ketika dilakukan oleh anak-anak. Misal, ada lomba menggambar untuk anak tapi tidak ada lomba menggambar untuk orang dewasa, adanya adalah pameran lukisan. Ada olimpiade sains untuk anak tapi tidak ada olimpiade sains pada orang dewasa, adanya hak paten dan pemilihan peraih nobel. Pada dunia orang dewasa, lomba sebatas pada olah raga dan kegiatan yang memang hasilnya bisa diukur dan dibandingkan.

Mengutip kata-kata dari Dosen Keperilakuan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, B.M. Purwanto, Drs., M.B.A., Ph.D., “Now, it’s time to collaborate, not to compete”.

Masih berminat untuk mengikutsertakan anak-anak Anda dalam perlombaan-perlombaan???


Source: http://temantakita.com with several edited

0 komentar:

Post a Comment