Thursday, May 10, 2012

5:26:00 PM
Bismillahir-Rahmanir-Rahim ... Kekayaan apa yang dibagi-bagi justru tak habis? Kekayaan apa yang dibagikan sebanyak-banyaknya malah bertambah banyak? Kekayaan apa justru kalau banyak memilikinya malah mempermulia pemiliknya? Kekayaan apa yang menjaga pemiliknya bukan pemiliknya yang bingung menjaganya? Begitu tanya khatib jumat di awal khutbahnya. Muhammad Yunus yang bersiap mengantuk di khutbah jumat terbangun. Seperti biasa dia datang ke masjid mencari ‘tempat strategis’: ada sandarannya. Namun karena dia punya masalah dengan perusahaan yang didirikan, merasa jawaban ini yang sedang dicari. Dilihatnya ada tempat lowong di shaf depan. Beringsut-beringsut dia maju ke depan. Sekarang dia bersila persis di depan khatib. Hanya terpisah beberapa shaft saja. Tampak jelas wajah khatibnya. Tidak terlalu tua. Mungkin sekitar 40-an. Dan wajahnya berlubang-lubang bekas jerawatan. Bahkan dia melihat masih ada jerawat yang menempel di wajahnya. Agak gemuk. Tapi terlihat kekar dan gagah. “Sebentar. Saya pernah melihat wajahnya,” kata Yunus dalam hati, “Dimana ya?” Dia berusaha mengingat-ingat. Sekarang dia baru sadar, kenapa dia merasa tahu wajahnya tapi tak kenal. Karena dia melihat wajahnya di buku yang pernah dibacanya. Buku yang menjadi favoritnya. Ya, dia memang pengarang buku itu. Diam-diam dia bersyukur bisa datang ke masjid ini. Karena awalnya dia ingin jumatan di masjid terdekat. Malas jauh-jauh. “Kekayaan itu adalah ilmu,” jawab sang khatib. “Ilmu adalah kekayaan yang dibagi tapi justru tak mengurangi ilmu pemiliknya. Justru dengan memiliki banyak ilmu, dia akan sadar bahwa dia hanyalah kecil. Dia akan menyadari sang Pencipta. Ilmu ini justru akan memuliakan pemiliknya. Dan dia tak bingung ‘kekayaannya’ ini akan dicuri atau dirampok. Sang khatib mulai menceritakan jalan hidupnya. Dulunya dia seorang mekanik dari perusahaan otomotif paling top di negeri ini. Ketrampilan, pengalaman dan dedikasinya menjadikan dia sampai mengepalai bengkel di sebuah cabang. Karena desakan beberapa mekanik dan keinginan yang lebih bebas mengatur waktu, dia ingin mandiri mendirikan bengkel sendiri. Sebenarnya dia ragu. Karena memiliki bengkel sendiri, perlu modal yang besar. Dan itupun belum tentu berjalan dan sukses. Bisa-bisa bangkrut. Apalagi dengan mandiri ini, dia akan meninggalkan jabatan yang gajinya lebih dari cukup serta fasilitas yang wah. Namun dengan bekerja seperti sekarang, dia tak bisa berdakwah. Memang dia bukan lulusan perguruan Islam. Namun karena pengetahuannya sering dia diundang memberikan ceramah. Awalnya masih seputaran kantor dan teman-teman kantor. Tapi sekarang sudah lebih luas lagi, bahkan luar kota. Dengan bekerja mandiri, dia akan bisa lebih bebas mengatur jadwal. Apalagi beberapa mekanik andalannya mendorong dia untuk mandiri. Mereka memang mekanik yang telah ‘dibentuknya’. Mereka dulu sebenarnya siswa SMK yang magang disitu. Namun melihat ketrampilan dan kecerdasannya menangkap pengetahuan baru, mereka direkrut. Namun setelah jalan beberapa bulan, para mekaniknya menngundurkan diri. Apalagi pamitnya mendadak. Sang khatib menjadi jengkel. Mereka dididik dan dijadikan mekanik jempolan. Sekarang justru setelah bengkel mulai berkembang, mereka mengundurkan diri secara serempak. Apalagi beberapa staf lain di luar mekanik juga mengundurkan diri. Karena bengkelnya baru berdiri, dia memang tidak begitu banyak memiliki karyawan. Dia memulai memang dari kecil. Bila memang nanti berkembang, dia pasti menambah karyawannya. Sekarang setelah ditinggal karyawannya, dia nyaris sendiri. Sang khatib sempat ‘down’. Bingung dan putus asa. Juga sakit hati. Rasanya ingin menutup saja bengkelnya. Lalu dia mencari pekerjaan sebagai mekanik. Dengan ketrampilan dan pengalamannya dia pasti bisa. Tapi tak semudah itu. Untuk mendirikan bengkel ini, selain menguras tabungannya, dia berhutang ke beberapa kerabat dan teman. Kalau dia putus asa dan menutup bengkel, bagaimana dengan hutang-hutangnya? Apalagi secara perlahan bengkelnya mulai berkembang. Karena pelanggan di bengkelnya dulu, sekarang berpindah ke bengkelnya. Sang khatib memang dulu mekanik yang banyak dipercaya pelanggan. Pekerjaannya bagus dan bisa dipercaya. Dia tak menambah pekerjaan yang tak perlu hanya supaya bisa menambah pemasukan bagi bengkelnya. Kalau memang bisa diperbaiki, ya dia bilang bisa. Tapi kalau tak dapat, baru dia bilang harus diganti. Dia tak akan memaksa pelanggan mengganti suku cadang dengan ‘menakuti-nakuti’ akan merusak ini-itu dan sebagainya. Sang khatib sakit hati. Dia merasa dikhianati karyawannya. Bagaimana mereka dididik menjadi pintar, setelah pintar dia sekarang pindah. Apalagi merekalah yang mendorong untuk membuka bengkel sendiri. Padahal kalau mau, dia sudah cukup makmur dengan gaji dan guyuran fasilitas di pekerjaan yang lama. Namun sekarang dia sadar, bahwa manusia selalu memiliki keinginan dan ambisi sendiri. Dia tak bisa menahan mereka. Mereka bebas menentukan jalan hidupnya. Dia putuskan ikhlas melepas mereka. Dia tak akan dendam pada mereka. Dia ingin hubungan yang sudah terjaga tak putus hanya gara-gara pengunduran diri mereka. Dia mulai merekrut karyawan baru dan mendidiknya secara ikhlas. Ilmu apa yang dimilikinya akan dibagi ke mekaniknya. Dia tak merasa sayang dengan ilmunya. Dia bagi sampai habis. Dia tetap menjadikan karyawannya seakan-akan muridnya. Dan dia siap kapan saja kalau tiba-tiba karyawan mengundurkan diri. Karena memang seseorang memiliki keinginan dan cita-cita sendiri. Dia tak bisa menahannya dengan menaikkan gaji atau menambah fasilitasnya. Karena suatu ketika tetap tak akan bisa menahannya. Dia tak peduli kalau bengkelnya dianggap batu loncatan. Yang ditekankan dia sekarang adalah membagi ilmu harus ikhlas. Anehnya pelanggannya malah justru bertambah. Dia paham ilmu yang dibagi dengan ikhlas akan menjadi rejeki yang bernilai. Sekarang dia malah bangga dengan para mekaniknya. Karena dengan pengetahuan yang dia ajarkan, sekarang mereka mendirikan bengkel sendiri. Diakui atau tidak oleh mereka, sang khatib merasa sudah membantu menggapai keinginan dan cita-cita mereka. Bahkan dia tak berharap ucapan terima kasih dari mereka. Ilmunya tak akan habis. Bahkan terus bertambah. Toh mereka masih kerap menghubungi, ketika mendapat kasus-kasus yang sulit. Bahkan diam-diam sang khatib merasa bersyukur dengan kehadiran bengkel mereka. Karena pelanggannya kerap membeludak, sehingga dia tak mampu menanganinya. Dan dia kerap meminta bantuan mereka (out source). Dengan cara begini, dia tetap untung tanpa harus menambah sumber daya lagi. Muhammad Yunus terpekur. Kisah sang khatib persis dialami dirinya. Dia juga baru mendirikan perusahaan. Dan sekarang dia ditinggal para karyawannya. Sekarang dia lebih bersemangat menatap masa depannya. Bahkan dia sekarang akan lebih ikhlas lagi berbagi ilmunya dengan karyawannya. Dia tak peduli lagi atau takut kalau karyawannya akan meninggalkan dirinya, selama dia sudah menjadi atasan dan pemilik yang baik. Karena mereka memang manusia yang tetap memiliki keinginan dan ambisi sendiri-sendiri. Posted by: Ustadz Ferry Adriawan

0 komentar:

Post a Comment